Blog Sofyan

Ahlan Wa Sahlan Wilujeng Sumping Welcome di Blog Muhamad Sofyan Semoga bermanfaat

Mengapa Witir Dua Rakaat Plus Satu?

Bukankah arti witir itu ganjil? Kalau artinya ganjil, kenapa kita menemukan orang-orang melakukannya tidak ganjil tetapi rakaatnya jadi genap, yaitu dua rakaat? Seharusnya tiga rakaat tetapi kenapa dua rakaat diselesaikan dengan salam dulu, baru diteruskan lagi satu rakaat? Lalu yang dua rakaat itu shalat apa?

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Benar sekali bahwa kata witir (الوِتْر) dalam bahasa Arab berarti ganjil lawan dari genap. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
 
إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ
Sesungguhnya Allah SWT itu ganjil dan menyukai bilangan ganjil. (HR. Bukhari Muslim)
Dan secara istilah dalam ilmu fiqih, shalat witir itu didefinisikan sebagai :

صَلاَةٌ تُفْعَل مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ تُخْتَمُ بِهَا صَلاَةُ اللَّيْل
Shalat yang dikerjakan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar dan menjadi penutup dari rangkaian shalat malam.
Disebut dengan shalat witir karena dikerjakan dengan jumlah rakaat yang ganjil, baik satu rakaat, atau tiga rakaat atau lima rakaat hingga sebelas rakaat.

Teknis Pengerjaan Shalat Witir
Meskipun namanya witir alias ganjil, namun para ulama memang memiliki beberapa pendapat yang berbeda tentang tata cara pengerjaannya. Khusus untuk shalat witir tiga rakaat, setidaknya ada tiga cara yang berbeda.



1. Cara Pertama
Shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu lalu disudahi dulu dengan salam, kemudian dikerjakan satu rakaat lagi, sehingga menjadi tiga rakaat dengan dua salam. Cara ini oleh para ulama sering disebut dengan istilah fashl (dipisahkan).
Cara ini adalah pendapat hampir semua mazhab kecuali mazhab Al-Hanafiyah. Bahkan mazhab Al-Malikiyah memakruhkan shalat witir kecuali dengan tata cara seperti ini, kecuali bila seseorang terpaksa karena dia menjadi makmum.
Dalil atas cara seperti ini adalah hadits nabawi berikut ini : 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَال : كَانَ النَّبِيُّ يَفْصِل بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمَةٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi SAW memisahkan antara rakaat yang genap dengan rakaat yang ganjil dengan salam. (HR. Ahmad) 

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ
Bahwa Ibnu Umar radhiyallahuanhu mengucapkan salam di antara dua rakaat, sehingga beliau memerintahkan beberapa kebutuhannya.
Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa ketika shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu dengan salam, maka dari segi niatnya haruslah disebutkan sebagai niat shalat sunnah dari witir (سنة الوتر) atau muqaddimah witir (مقدمة الوتر).

2. Cara Kedua
Shalat witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tanpa diselingi dengan salam di rakaat kedua. Cara ini disebut dengan washl (bersambung).
Cara ini didasarkan dari hadits berikut : 

كَانَ وتِرُ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِي آخِرِهَا
Rasulullah SAW pernah shalat witir dengan lima rakaat tanpa duduk tahiyat kecuali di bagian akhir. (HR. Muslim)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan cara seperti ini, namun mazhab Al-Malikiyah memakruhkannya.

3. Cara Ketiga
Shalat witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tetapi di rakaat kedua duduk sejenak untuk melakukan duduk tasyahhud awal dan membaca doanya.
Cara seperti ini nyaris mirip dengan shalat Maghrib, kecuali bedanya ketika di dalam rakaat ketiga tetap disunnahkan untuk membaca ayat Al-Quran setelah membaca surat Al-Fatihah.
Dasar dari pendapat ini adalah perkataan Abu Al-‘Aliyah : 

عَلَّمَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَنَّ الْوِتْرَ مِثْل صَلاَةِ الْمَغْرِبِ فَهَذَا وِتْرُ اللَّيْل وَهَذَا وِتْرُ النَّهَارِ
Para shahabat Nabi SAW mengajari kami bahwa shalat witir itu serupa dengan shalat Maghrib. Yang ini (shalat witir) adalah shalat witir malam dan yang itu (shalat Maghrib) adalah shalat witir siang.
Cara shalat witir seperti ini adalah yang menjadi pendapat dari mazhab Al-Hanafiyah.
Namun mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan cara ini boleh saja dilakukan tetapi dengan karahah (kurang disukai). Karena menurut mazhab ini menyamakan shalat witir dengan shalat Maghrib hukumnya makruh.
Mahab Al-Hanabilah tidak membolehkan cara ini tanpa karahah, namun Al-Qadhi Abu Ya’la yang juga ulama dari kalangan mazhab ini melarang shalat witir dengan cara seperti ini. Sedangkan Ibnu Taymiyah yang juga berlatar mazhab Al-Hanabilah memberikan pilihan antara fashl dengan washl.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

dikutip dari : http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1405349657&=bolehkah-wanita-berhias-dengan-mewarnai-kuku-jarinya.htm

0 komentar:

Posting Komentar

Perfil

muhamad sofyan
Lihat profil lengkapku

Members